Melihat orang
berpacaran di taman – taman kota, di alun-alun atau dipinggiran bandara sambil
melihat lalu lalang pesawat, terlihat mereka bermesraan. Ngobrol yang lama, bak
suami istri yang sudah sah menikah. Mereka saling mengobrolkan masa depanya,
menghayal masa depanya, ada juga obrolan mereka mengenai organisasi mereka.
Itulah secuil
dari orang yang berpacaran. Disisi lain pacaran dapat menjerumuskan kedalam
kenegatifan, jika tidak memiliki kontrol diri yang kuat. Akibatnya banyak terjadi
kemaksiatan-kemaksiatan, bahkan hamil dulu baru menikah atau bahkan digrebek
sama warga karena ketahuan membawa teman lawan jenisnya di kamar kos atau
kontrakanya.
Okelah, kita
jenuh dengan perbuatan mereka. Perbuatan mereka yang tidak selayaknya ada
didalam lingkungan kita. Kita sebagai korban perbuatan mereka yang berpacaran.
Entah dengan apa mereka bisa sadar baha pacaran itu sangat merugikan. Alangkah
baiknya pacaran itu setelah nikah. Walaupun sudah ada restu dari kedua orang
tua, pacaran pun masih merugikan. Bahasa lain yang lebih halus adalah “khitbah”
atau “lamaran”, itu kan belum menjadi suami istri yang sah.
Sudahlah !
urusan dosa biar mereka yang menanggung. Kita hanya koraban saja, maka tugas
kita adalah mendoakan mereka biar mendapat hidayah dari sang maha kuasa. Jika
kita berfikiran negatif terus, kesal dengan mereka dan memikirkan mereka, kita
akan rugi semdiri. Mengapa? Energi untuk memikirkan ke-irian, kekesalan,
kemarahan jauh lebih besar. Daripada kita memandang mereka negataif terus,
lebih baik kita berfikiran positif saja.