1. IDEALISME
Di dalam filsafat, idealisme adalah
doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini
diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.Kata idealisme
dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti yang biasa dipakai
dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat mengandung beberapa
pengertian, antara lain:Seorang yang menerima ukuran moral yang tinggi,
estetika, dan agama serta menghayatinya;Orang yang dapat melukiskan dan
menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan
lebih banyak oleh arti dari kata ide daripada kata ideal. W.E.
Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat
digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa
realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self)
dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai
hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.
Alam, bagi orang idealis, mempunyai arti dan maksud,
yang diantara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia. Oleh karena itulah
seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni yang dalam arti
manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang
terdalam dalam alam”. Manusia merasa ada rumahnya dengan alam; ia bukanlah
orang atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini suatu sistem yang logis
dan spiritual; dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari
kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang terasing
atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses
ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivis, akal, jiwa,
atau perorangan. Manusia sebagai satuan bagian dari alam menunjukkan struktur
alam dalam kehidupan sendiri.
Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa
mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak
mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan
bukan hakikat. Sebab, seseorangakanmemikirkan materi dalam hakikatnya yang
terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui
apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah
nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu.
Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah
kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada unsur yang tidak terlihat
yang mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia lebih dipandang sebagai
makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka peralatan yang
digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup hanya
peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal dan
budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas manusia.
a.Jenis-Jenis Idealisme
Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas karena
mencakup berbagai teori yang berlainan walaupun berkaitan. Ada beberapa jenis
idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme
personal.
1. Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat yang
berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam
dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan
terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia
atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah
ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini
adalah seorang dari inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M). Menurut
Berkeley, segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu
bukanlah materi yang real dan ada secara
objektif.
2. Idealisme Objektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik
tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal
menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam
alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan
filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada
secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia
alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya.
Filsuf idealis yang pertama kali dikenal
adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian. Pertama, dunia
persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang
sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat
alam di atas alam benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang
abadi.
3. Idealisme Personal (personalisme)
Idealisme personal yaitu nilai-nilai
perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes
terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis,
realitas dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang
khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
b. Tokoh-Tokoh Idealisme
1. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof
Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut
Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi
tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang
dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi
pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman
adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek.
Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri
sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan
mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang
dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari
tindak perbuatan sang Aku.
2. G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman
pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama
George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena.
Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini
tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia
memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang
tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von
Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi
redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian
pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Pokok-Pokok Pikiran (Filsafat) Hegel
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh
karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan
dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir
kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis,
suatu filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).
a. Rasio, ide, dan roh
Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia
seorang idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia
perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel juga
menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan
suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real
bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya
rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran
(idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan
perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi
sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap
kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan
perasaan.
Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist
(roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak
sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret,
kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of
spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam
kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah
manusia.
Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini,
mula-mula roh itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya
roh mutlak.
Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan:
antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenalah roh itu akan
dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenalah dia akan
dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada psikologi, roh mengenal
dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis, kemudian praktis
dan akhirnya merdekalah roh itu.
Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma
pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan dan
kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada
hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan.
Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan.
Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu
ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis dari
roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara subjek dan objek
antara berpikir dan ada.
Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga, maka
dia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis) dan kemudian
filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan indera
terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi
mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian
dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari
seni dan agama merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal
dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu,
yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis),
Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
b. Dialektika
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel
menggunakan dialektika sebagai metode. Yang dimaksud oleh Hegel dengan
dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan hal-hal yang berlawanan.
Proses dialektika selalu terdiri atas
tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya
timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis
menghilang. Dapat juga tidak menghilang, dia masih ada, tetapi sudah diangkat
pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera
menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis baru, dan menghasilkan sintesis
baru lagi, dan seterusnya.
Tesis adalah pernyataan atau teori yang
didukung oleh argumen yang dikemukakan, lalu antitesis adalah pengungkapan
gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah paduan (campuran) berbagai
pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras.
Contoh tesis, antitesis, dan sintesis.
1. Yang “ada” (being)
merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being)
sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai
sintesis.
2. Dalam keluarga,
suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis.
Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3. Mengenai bentuk
Negara
Tesis
: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur dengan
baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga.
Antitesis
: Negara anarki. Dalam Negara anarki
para warganya mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup
kemasyarakatan menjadi kacau.
Sintesis :
Negara konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan
diktator dengan anarki menjadi demokrasi.
2. MATERIALISME
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu,
dimana asal atau hakikat dari segala sesuatu ialah materi. Karena itu
materialisme mempersoalkan metafisika, namun metafisikanya adalah metafisika
materialisme.
Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran ( roh, kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yang sedang bergerak.
Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran ( roh, kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yang sedang bergerak.
Materi dan alam semesta sama sekali tidak memiliki
karakteristik-karakteristik pikiran dan tidak ada entitas-entitas nonmaterial.
Realitas satu-satunya adalah materi. Setiap perubahan bersebab materi atau
natura dan dunia fisik. Beberapa tokoh pemikir materialisme, antara lain :
a. Karl Marx (1818-1883)
Marx lahir di Trier Jerman pada tahun 1818.ayahnya
merupakan seorang Yahudi dan pengacara yang cukup berada, dan ia masuk
Protestan ketika Marx berusia enam tahun. Setelah dewasa Marx melanjutkan
studinya ke universitas di Bonn, kemudian Berlin. Ia memperoleh gelar doktor
dengan desertasinya tentang filsafat Epicurus dan Demoktirus. Kemudian, ia pun
menjadi pengikut Hegelian sayap kiri dan pengikut Feurbach. Dalam usia dua
puluh empat tahun, Marx menjadi redaktur Koran Rheinich Zeitung yang dibrendel
pemerintahannya karena dianggap revolusioner.
Setelah ia menikah dengan Jenny Von Westphalen (1843)
ia pergi ke Paris dan disinilah ia bertemu dengan F.Engels dan bersahabat
dengannya. Tahun 1847, Marx dan Engels bergabung dengan Liga Komunis, dan atas
permintaan liga komunis inilah, mereka mencetuskan Manifesto Komunis (1848).
Dasar filsafat Marx adalah bahwa setiap zaman, system
produksi merupakan hal yang fundamental. Yang menjadi persoalan bukan cita-xita
politik atau teologi yang berlebihan, melainkan suatu system produksi. Sejarah
merupakan suatu perjuangan kelas, perjuangan kelas yang tertindas melawan kelas
yang berkuasa. Pada waktu itu Eropa disebut kelas borjuis. Pada puncaknya dari
sejarah ialah suatu masyarakat yang tidak berkelas, yang menurut Marx adalah
masyarakat komunis.
b. Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Thomas Hobbes materialisme menyangkal adanya
jiwa atau roh karena keduanya hanyalah pancaran dari materi. Dapat dikatakan
juga bahwa materialisme menyangkal adanya ruang mutlak lepas dari barang-barang
material.
c. Hornby (1974)
Menurut Hornby materialisme adalah theory, belief,
that only material thing exist (teori atau kepercayaan bahwa yang ada hanyalah
benda-benda material saja).
Sebagian ahli lain mengatakan bahwa materialisme
adalah kepercayaan bahwa yang ada hanyalah materi dalam gerak. Juga dikatakan
kepercayaan bahwa pikiran memang ada, tetapi adanya pikiran disebabkan
perubahan-perubahan materi. Materialisme juga berarti bahwa materi dan alam
semesta tidak memiliki karakteristik pikiran, seperti tujuan, kesadaran, niat,
tujuan, makna, arah, kecerdasan, kemauan atau upaya. Jadi, materialisme tidak
mengakui adanya entitas nonmaterial, seperti roh, hantu, malaikat. Materialisme
juga tidak mempercayai adanya Tuhan atau alam supranatural. Oleh sebab itu,
penganut aturan ini menganggap bahwa satu-satunya realitas yang ada hanyalah
materi. Segala perubahan yang tercipta pada dasarnya berkausa material. Pada
ekselasi material menjadi suatu keniscayaan pada being of phenomena. Pada
akhirnya dinyatakan bahwa materi dan segala perubahannya bersifat abadi.
d. Van Der Welj (2000)
Van Der Welj mengatakan bahwa materialisme dengan
menyatakan bahwa materialisme ini terdiri atas suatu aglomerasi atom-atom yang
dikuasai aleh hukum-hukum fisika-kimiawi. Bahkan, terbentuknya manusia sangat
dimungkinkan berasal dari himpunan atom-atom tertinggi. Apa yang dikatakan
kesadaran, jiwa, atau roh sebenarnya hanya setumpuk fungsi kegiatan dari
otakyang bersifat sangat organik-materialistis.
Macam-Macam Materialisme :
- Materialisme rasionalistik. Materialisme rasionalistik menyatakan bahwa seluruh realitas dapat dimengeti seluruhnya berdasarkan ukuran dan bilangan (jumlah);
- Materialisme mitis atau biologis. Materialisme mitis atau biologis ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa material terdapat misteri yang mengungguli manusia. Misteri itu tidak berkaitan dengan prinsip immaterial.
- Materialisme parsial Materialisme parsial ini menyatakan bahwa pada sesuatu yang material tidak tedapat karakteristik khusus unsur immaterial atau formal;
- Materialisme antropologis. Materialisme antropologis ini menyatakan bahwa jiwa itu tidak ada karena yang dinamakan jiwa pada dasarnya hanyalah materi atau perubahan-perubahan fisik-kimiawi materi;
- Materialisme dialektik. Materialisme dialektik ini menyatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Berarti bahwa tiap-tiap benda atau atau kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material. Salah satu prinsif di materialisme dialektik adalah bahwa perubahan dalam kuantitas. Oleh karena itu, perubahan dalam materi dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan, atau dengan kata lain kehidupan berasal dari materi yang mati. Semua makhluk hidup termasuk manusia berasal dari materi yang mati, dengan proses perkembangan yang terus-menerus ia menjadi materi yang memiliki kehidupan. Oleh karena itu kalau manusia mati, ia akan kembali kepada materi, tidak ada yang disebut dengan ke hidupan rohaniah. Ciri-ciri materialisme dialektik mempunyai asas-asas, yaitu :
- Asas gerak;
- Asas saling berhubungan;
- Asas perubahan dari kuantitaif menjadi kualitatif;
- Asas kontradiksi intern.
- Materialisme historis. Materialisme histories ini menyatakan bahwa hakikat sejarah terjadi karena proses-proses ekonomis. Materialisme dialektik dan materialisme histories secar bersamaan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang menyangkut sejarah rohani dan perkembangan manusia hanya merupakan dampak dan refleksi-refleksi aktivitas ekonomis manusia. Materialisme historis ini berdasarkan dialektik, maka semua asas materialisme dialektik berlaku sepenuhnya dalam materialisme histories.
- Materialisme sebagai teori menyangkal realitas yang bersifat ruhaniah, sedangkan materialisme metode mencoba membuat abstraksi hal-hal yang bersifat imaterial.
3. EKSISTENSIALISME
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan,
bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa
sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang
disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya,
untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan
dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang
berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan
keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa
cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam
jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi
dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam
keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat
eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya,
yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan
bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di
dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia
berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti
yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di
antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa
manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.
Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
a.Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran
filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan
akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis
berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok
pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian
filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga
filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas
aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia,
yaitu:
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada
akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis
tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan
bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang
terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi;
betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang
sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek,
hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara
berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi
sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi
dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada
waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan
rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang
merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau
tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami
krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama
di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada
kehidupan.
b. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di
antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger,
Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua
tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye
Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di
Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44
tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras
pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini
ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama.
Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan
dan menjadi Pastor Lutheran.
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya
(disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat
orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras
asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam
Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript)
tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek.
Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844).
Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger
(Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan
Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948).
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri
seseorang yang “bereksistensi” bersama dengan analisisnya tentang segi-segi
kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan.
Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia
mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial
termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok
dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak
memperlihatkan “wujud” secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai
pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik.
Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel
yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk
filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan
membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah
konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara
mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang
kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan
utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit,
karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard
manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku
individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu
yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan
agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai
pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. dia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. dia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi
dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama
adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah
statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari
kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang
mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki
kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu
sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu
muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani
mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita
tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi
dalam arti sebenarnya.Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu
estetis, etis, dan rligius.
· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905
di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar
Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa
modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal,
terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh
kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu
pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa
kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata)
berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan
dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan
pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama
sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia
berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia
menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak
pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah.
Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga
borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran
kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga
mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun
1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia
bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam
mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui
karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang
sangat terkenal adalah Being and notthingness, buku ini membicarakan tentang
alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme
dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat
mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus
mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah
Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai
berikut:
a. Tentang Manusia
Bagi Sartre,
manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan
tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan
mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan
aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat
membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee
(1938) dan essei L’Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan
keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak.
Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul
beban tanggung jawab.
Sartre
mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya
dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. dia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka
dari itu “tak ada watak manusia”, oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki
konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu
sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi”. Sartre mengingkari adanya bantuan dari
luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan
bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre,
pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan
manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan
mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
b. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep
kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan
perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya
setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini
menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre.
Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan
menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam
rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya
sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan.
Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak.
Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada
kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan
keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat
Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan
kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial
ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang
berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski
demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan
filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk,
maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan
pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru,
seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu
dinilai relevan untuk masa kini.
4. Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu
monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang
berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat
tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi
dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis
unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme
adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan
antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses
yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam
teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.Atau
dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan
yang fundamental.
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini
antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam
adalah satu subtansi yaitu air. Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles
(384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu
merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua
barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula. Bahkan bumi yang
menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang
terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun,
menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air. Tidak
heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang
semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada
kehidupan.
Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan
bahwa prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak
terbatas yang disebutnya sebagai apeiron yaitu suatu zat yang tak terhingga
dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan
suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa
dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis
benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa
dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin. Aperion yang
dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa
dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam
dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang
dimaksud aperion adalah Tuhan.
Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang
asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang yang
asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena
udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang
hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros,
yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan
ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara,
menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu. Sedang
filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang
berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan
diidentikan dengan alam (naturans naturata).
5. DUALISME
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin
yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu
terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing
substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi
kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa
dengan badan dll. Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang
menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam
wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan
ruhani.
Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang
memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau
substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan
konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa
antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif. Jadi adanya
segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam
aliran ini adalah Plato (427-347 SM), yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah
dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah
bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang
asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab
hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi
dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang
ideal di dunia idea sana (dunia idea).
Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang
masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat
diindera dan dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea
yang bersifat kekal dan hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia
nyata yang selalu berubah dan tak sempurna. Apa yang dikatakan Plato dapat
dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan
antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka
bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis,
mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran dan
substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah
meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.
Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi
pikiran dan substansi keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata
adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito
ergo sum! (saya berpikir maka saya ada). Leibniz (1646-1716) yang
membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant
(1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki
(noumena).
6. PLURALISME
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis
(jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi
atau dua substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama
lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki
kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional,
fundamental.
Didalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan
dimensi yang tidak dapat diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan
teori, beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang mengangg, ap
kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air. Dari pemahaman di atas dapat
dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi, karena menurutnya manusia tidak hanya
terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara
yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara
lain: Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari
empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang
menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung
banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga
yang dinamakannodus yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki
sifat pandai bergerak dan mengatur.
BAB III
KESIMPULAN
- idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
- Ada beberapa jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme personal.
- Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Sedangkan idealisme objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
- Idealisme personal yaitu nilai-nilai perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik.
- Tokoh-tokoh idealisme diantaranya: Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Josep Schelling, dan George Wilhelm Friedrich Hegel.
- Proses dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).
- materialisme adalah keyakinan bahwa didunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pernyataanya, bahwa roh keasadran dan jiwa hanyalah materi yang sedang bergerak.
Materialisme : pikiran atau roh hanyalah materi yang
sedang bergerak
- Eksistensialisme
adalah
paham filsafat yang memandang bahwa segala gejala berpangkal pada
eksistensi. Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan sikap dalam
gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa
memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan mereka adalah
soal keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
Gerakan eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
Kierkegaard dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari latar belakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini. - Monisme, Dualisme dan Pluralisme, yang pada intinya masing-masing aliran memiliki argumen yang rasional. Dari apa yang telah diuraikan, pendapat atau pemikiran masing-masing filsuf dalam setiap aliran sangat dipengaruhi corak kehidupan atau latar belakang hidupnya. Sebagai contoh Thales, karena dia seorang saudagar yang banyak berlayar kenegeri Mesir, maka pemikiran yang diungkapkanya yaitu bahwa semuanya adalah air. Karena hidup Thales kesehariannya tidak pernah luput dari air atau dengan kata lain pengamatannya selalu dipenuhi dengan nuansa air. Mungkin alasan ini (corak pemikiran yang dipengaruhi latar belakang kehidupan) tidak bisa digeneralisasikan terhadap munculnya pemikiran-pemikiran para filosuf yang lain. Dari ketiga aliran yang telah disebutkan seolah terdapat pertentangan yang begitu tajam tentang ”keadaanya”, tetapi ketika direnungkan dan dipahami lebih dalam bahwasanya ketiga aliran tersebut sejatinya bersifat komplementer, yang tidak mungkin meniadakan yang satu atas yang lainnya. Mungkin seperti itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak,
Isep Zainal Arifin, Filsafat Umum, Bandung: Gema Media Pusakatama, 2002.
Praja,
juhaya s. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan PIARA
(Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora).
Beerling,
R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Ahmad
Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997.
0 komentar:
Posting Komentar