Ketentraman,
apa yang anda rasakan ketika mendengarkan kata “tentram”? bukankah kententraman
adalah keinginan setiap manusia? Darimana ketentraman itu berasal? Mengapa
ketentraman hanya sesaat atau mungkin tak kunjung datang?.
Memang benar,
orang orang mengidamkan ketentraman dimana mereka rela berpindah atau bahkan
rela memodifikasi lingkungan agar mereka merasakan ketentraman. Tentram, damai,
kalau bahasa jawanya adem ayen tentrem loh jinawi, adalah salah
satu tujuan hidup manuisa. Mencari pekerjaan gar dapat makan, membeli sandang
pangan dan papan ujung ujungnya ia ingin mendapatkan ketentraman. Hidup rukun,
tiada permusuhan, tiada pertentangan diantara warga masyarakat, ujung ujungnya
mereka ingin ketentraman juga.
Ketentraman
pada dasarnya adalah fikiran bawah sadar dimana fikiran tersebut dapat dibentuk
atau dikendalikan. Mengapa demikian ketentraman adalah rasa yang diberikan oleh
stimulus dari luar dan akan direspon menjadi perilaku atau perbuatan. Sebelum
menjadi perbuatan secaara tidak sadar akan diproses dalam otak yang mana ada
dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah presepsi bahwa stimulus dari luar
adalah baik, yang mana dalam hal ini adalah khusnudzon dan yang kedua adalah
menganggap bahwa stimulus yang masuk dalam fikiran adalah stimulus yang
negative, yang mana dinamakan suudzon.
Nah, sekarang
apa yang anda rasakan jika semua perbuatan manusia kita ambil sisi positivnya?
Yang suka mencuri kita anggap “ou dia lapar, tidak kebagian pekerjaan,
seandainya dia punya kerja tetap mungkin tia tidak jadi pencuri”. Selain itu,
di membicarakan kejelekan kita. Kita anggap bahwa mereka Cuma tau satu dari
banyak kejelakan yang lain. Ada juga ketika mendapatkan orang yang jatuh terkena batu dan sedikit luka.
Kita anggap “untung masih bisa jalan”.
Bagaimana?
Bisa kita praktikkan dimanapun kita berada dan hati terasa tenang. Memang berat
diawal. Tapi kita kembali lagi pada prinsip berat berat dahulu, bersusah susah
dahulu bersenang senang kemudian. Berbaik
baik sangka dahulu merasakan ketentraman kemudian.
Minggu, 19 juni 2016 05:22
Iqbal el rosyid (santrikuliah)
0 komentar:
Posting Komentar